CERPEN
MASA KELAM CITRA
BY MASNING WARDAH
Seorang gadis kecil berusia sembilan tahun terlihat begitu menyedihkan. Kerudung putihnya lusuh karena berulang kali ia gunakan untuk mengelap air mata dan ingusnya .
“Budhe, kok ayah tidak bangun sih? Bangunin dong! Entar siang kan citra harus pergi ngaji ke rumah ibu dian. Kalau ayah enggak bangun,siapa yang bakal anterin citra ngaji?“ Mata bulat citra tertuju pada tubuh ayahnya yang terbujur kaku di hadapannya.
“Ayah, bangun dong! citra mau pergi ngaji bentar lagi.” teriakan ibunya membuat citra terdiam terpaku. “Kalian telah membunuh suamiku! pergi kalian! Aku tidak sudi melihat wajah kalian!”
“Maaf.... ini semua murni kecelakaan.”
“Maaf kalian tidak akan dapat mengembalikan suamiku, Kalian pembunuh!”
Citra memperhatikan semuanya dalam diam. Kemarin siang sang ayah menjemputnya dari madrasah dengan menggunakan sepeda. Citra di bonceng dibelakang , namun tiba-tiba ada sebuah mobil mewah yang menabrak mereka. Citra terempas ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan, namun ayahnya malah terlempar ke tengah jalan. Ada sebuah truk besar yangg menggilas tubuhnya.
Bukan mobil itu yang menabrak ayahnya hingga mati. Namun karena mobil itulah sang ayah harus menjemput maut dengan cara mengerikan. Terlindas truk tepat dihapannya.
Mata merah citra menatap lekat-lekat wajah yang telah membuat sang ayah pergi.
Ia kira... inilah penderitaan yang paling menyakitkan yang harus ia terima. Kehilangan ayah yang paling ia cintai dengan cara mengenaskan. Namun ternyata ini bukan akhir dari penderitaan... Ibu, satu-satunya orang yang ia jadikan tempat bersandar dan berlindung harus ikut pergi meninggalkannya. Tepat seminggu setelah kematian sang ayah, ibunya ditemukan telah meninggal gantung diri.
“Ibu mencintai ayah, namun ibu tidak mencintaiku! Bunuh diri itu dosa, itu kata guru ngaji citra. Tapi kenapa ibu bunuh diri? Apa ibu tidak takut masuk neraka? Ibu tahu guru ngaji citra pernah berkata, haram surga untukmu yang mengakhiri hidupnya secara sengaja. Tapi kenapa ibu malah melakukannya?” Citra terus berucap disamping tubuh ibunya yang kaku. Belum kering air matanya untuk kematian sang ayah, kini matanya kembali basah menangisi kepergian ibunya.
“Citra enggak mau tinggal sama mereka, Budhe! Mereka yang telah membuat ayah dan ibu ninggalin Citra.” Citra menggeleng tegas saat keluarga yang telah membuat ayahnya tertabrak truk akan membawanya untuk tinggal bersama mereka, “Citra janji bakal jadi anak penurut, tapi citra mohon Budhe... Jangan biarkan mereka membawa Citra dari sini.”
“Mereka orang baik Citra, mereka akan memberikanmu baju bagus, buku-buku cerita dan mereka pun akan memberikanmu sepeda yang bagus.”
“Enggak...!!! Citra enggak mau itu semua!”
Ia menolaknya dengan tegas. Hingga tepat setengah tahun setelah kematian ayah dan ibunya, lagi-lagi Allah mengambil orang yang ia sayangi. Budhenya meninggal karena serangan jantung hidupnya terlunta-lunta. Semua sanak saudaranya tinggal diluar pulau jawa. Citra hanya bisa makan atas belas kasih tetangga yang baik hati memberinya makan. Namun, yang membuatnya sedih adalah ia harus menghentikan pendidikannya.
Tidak ada yang mau membelikannya buku tulis. Tidak ada pula yang mau membelikannya baju seragam untuk sekolah. Baju seragamnya yang dulu sudah tidak muat lagi, sedangkan sekolah mewajibkannya dan memiliki buku.
“Besar nanti Citra harus jadi dokter, yah... biar nanti kalau ayah sakit, Citra yang ngobatin.” Kata-kata itu terus berputar dikepala citra. Kalau ia sampai putus sekolah, bagaimana cita-citanya sekaligus keinginan ayahnya dapat terwujudnya?
Tidak mugkin kan kalau ia bisa menjadi dokter kalau putus sekolah? Yang ada ia hanya akan menjadi gadis yang tidak berpendidikan. Akhirnya Citra kecil yang sudah dapat berpikir dewasa karena kesakitan hidup yang pernah ia alami, memutuskan untuk menerima bantuan dari keluarga yang telah membuatnya menderita.
Citra menolak dengan keras saat mama dan papa Zahra, orang yang telah membuat ia harus kehilangan kedua orangtuanya, hendak mengangkatnya sebagai anak angkat saat ia berumur sepuluh tahun. Mereka hendak membawa Citra untuk tinggal dijakarta, walaupun mereka telah berlaku baik pada Citra selama ini,hal itu tidak membuat rasa benci yang citra rasakan menghilang.
“Biar ibu saja yang menjadi ibu angkat Citra. Citra akan tinggal disini bersama ibu. Kalian tidak usah khawatir. Ibu akan merawatnya seperti anak ibu sendiri.” ucap nenek Nana dari pihak ibu Zahra.
Citra pun bersedih tinggal di malang bersamA nenek Nana. Ia menerima kasih sayang darinya, namun tetap saja terasa berbeda.
End-
Tugas yang dikerjakan sudah cukup baik dan bisa dikembangkan lagi. Tetap semangat menulis!
BalasHapus