CERPEN
Yang Belum Selesai
Oleh : Mochamad Fahril Hidayatullah
Ada masa dimana kita sadar bahwa mencintai orang yang belum selesai dengan masa lalunya sangat menyakitkan juga sangat sia-sia. Belum lagi setiap hal yang kurang pada diri kita selalu dibandingkan dengan perempuan yang masih mengisi ruang ssepenuhnya disana.
Tapi, entah perasaan apa yang ku punya hingga aku masih tetap saja memilih menetap dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku akan menggantikan perempuan itu sepenuhnya. Mungkin belum sekarang tapi akan.
---
“Bilqis, mending kamu selesai deh sama hubunganmu itu,” Ini bukan kali pertama aku mendengar kalimat ini dari Ara, sahabat baik yang sudah ku anggap seperti saudariku sendiri. Alih-alih merespon perkataannya, aku memilih untuk memutar bola mataku malas dengan menghela nafas berat. Ara berdecak kesal melihatku yang tidak meresponnya.
“Mau sampai kapan coba? Mau sampai kamu liat dia gandengan sama mantannya itu di pelaminan?” Tanya Ara dengan intonasi suaranya yang tidak kecil. Mungkin dia benar-benar muak melihatku jatuh cinta dan bucin sendiri.
“Sampai dia lupa sama masa lalunya lah,” jawabku seenaknya. Kini gilirannya yang menghela nafas dengan ekspresi wajahnya yang terlihat muak denganku.
“Ternyata jatuh cinta yang tidak bekerjasama dengan otak benar-benar terlihat menjengkelkan.” Aku hanya tertawa hambar mendengar ucapannya. Entah harus merespon bagaimana tapi aku sadar bahwa aku memang sebodoh itu. Tapi, aku tetap tidak bisa memakai alasan itu untuk menyelesaikan hubungan ini. Aku tidak bisa memakai alasan kalau dia belum selesai dengan masa lalunya untuk menyudahi semuanya, lebih ke tidak terima dengan sebuah kenyataan sebenernya.
“Heran banget, orang tuh kalau sadar dijadiin pelampiasan langsung cut off kok kamu malah gass pol sih?” Ara menyeruput minumannya, dia terlihat sangat kehausan karena emosi dengan perempuan gila dihadapannya ini.
Aku mencoba meraih benda pipih yang baru saja berbunyi menandakan pesan masuk. Ternyata pesan dari laki-laki itu. Laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya, kata Ara. Ia mengajakku bertemu malam nanti di Caffe biasa yang kita sering datangi, katanya itu dulu adalah tempat yang sering ia datangi bersama masa lalunya. Info itu aku dapatkan dari temanku yang bekerja disana.
“Bahas yang lain yuk. Entar malem aku mau ketemu. Jadi, aku mau cerita banyak sama kamu diluar dari hubunganku sama kak Steven,” ucapku kemudian melihat sedikit lengkungan kecil di bibirnya.
Tidak lagi membahas hubunganku tapi kami membahas pekerjaan yang akan kita lakukan kedepannya, membahas bagaimana kalau kita menjadi seorang ibu kedepannya dan masih banyak lagi hingga membuat langit yang awalnya terang kini berganti menjadi gelap.
“Bilqis,” panggil Ara sebelum kami beranjak dari tempat duduk masing-masing. Aku menatapnya seolah bertanya ada apa?
“Akhiri hubunganmu malam ini. Kamu baik, kamu cantik, dan kamu pantas untuk mendapatkan balasan cinta yang lebih besar dari cintamu. Buka mata kamu lebar-lebar, kamu perempuan yang gak pantas diperlakukan seperti ini. Kamu gak pantas di jadiin pelampiasan, Bilqis.” Dia menjeda kalimatnya dengan menatapku lamat-lamat, “Kalau gak bisa berakhir dengan kak Steven, maka akhiri saja hubungan persahabatan ini.”
Aku tentu terkejut mendengar ucapanyya. Tidak pernah sekalipun aku berfikir bahwa dia ingin memutuskan hubungan persahabatan yang sudah cukup lama ini.
“Kok kamu ngomong gitu, Ra?” tanyaku dengan tidak biasa, keningkupun sudah bertaut.
“Karena kamu gak bisa ngomong ke kak Steven untuk minta selesai. Selamat memilih, Bilqis.”
Ara langsung menyeleneng pergi dengan meninggalkan ku yang dibuat kebingungan dengan pilihan-pilihan yang harus ku pilih sendiri.
Kembali aku meraih benda pipih yang berada didalam tasku yang berbunyi menandakan pesan masuk. Dari Kak Steven. Ia memberitahu bahwa dia sudah tiba lebih dulu di Caffe tersebut. Aku segera beranjak dan segera menuju ke Caffe itu agar tidak membuat Kak Steven menunggu lama.
Sekitar 10 menit dijalan dengan menaiki Go-Jek aku pun tiba di Caffe itu. Aku mencoba untuk menetralisir semua perasaan aneh di dada juga kepalaku yang terus kupaksa untuk membantu ku memilih.
Aku berjalan masuk menghampiri laki-laki yang tengah fokus pada handphonenya itu. Tidak langsung menyapa tapi aku langsung memilih duduk di kursi kosong dihadapannya. Ia mengangkat kepalanya ketika menyadari kehadiranku tidak lupa dengan senyum manis yang ia lemparkan kepadaku.
“Kok lama?” Tanyanya padaku kemudian meletakkan handphonenya diatas meja. Sebenarnya aku hanya inigin mendengar ucapan “Eh kamu udah datang?” atau “Ya ampun sayangku cantik banget.” Tapi, sudahlah. Berharap sesuatu sama manusia yang memang hatinya belum sepenuhnya milik kita memang tidak perlu.
“Jalanan lumayan ramai tadi, kak.” Jawabku kemudian ia mengangguk lalu tangannya mengambil gelas yang berisikan kopi kesukaannya. Kopi yang sudah tidak asing lagi dimataku.
“Sabar, yaa. Minuman kamu masih dibuatin. Red Velvet kan?” Ia mengangkat alisnya saat bertanya dan aku mengangguk. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan rasa itu, namun katanya “Coba dulu, enak kok.” Meski sudah ku coba berkali-kali namun aku tetap tidak bisa sesuka itu dengan minuman yang katanya nikmat itu. Meski tidak suka namun tetap ku minum hingga tandas karena ia yang memesankan.
Sembari menunggu Red Velvet itu datang, ia mengajakku untuk berbincang sebentar tentang pekerjaannya hari ini, tentang bagaiman lelahnya dia menghadapi kliennya hari ini dengan masalah-masalah kecilnya hari ini, tidak lupa dia selalu memberitahuku tentang bagaimana dia melihat bagian menyenangkan dari harinya yang cukup memelahkan ini. Aku cukup jadi pendengar yang baik dengan sesekali ikut bersuara menanggapi ceritanya.
Mendengarkan ceritanya dan mengamatinya dengan lamat-lamat ketika berbicara tiba-tiba isi kepalaku diramaikan dengan ucapan Ara tadi sebelum berpisah. Mungkin Ara benar tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku bahwa aku benar benar mencintai laki-laki dihadapanku ini. Mungkin Ara tidak melihat bagaimana dia mengelus pucuk kepalaku dengan tersenyum gemas kearahku, bagaimana dia menasehatiku ketika salah, bagaiman dia terlihat khawatir ketika melihatku tergores sedikit dan masih banyak hal lainnya. Ara harusnya melihat bagian manis ini. Bukan hanya melihat dia sesbagai laki-laki yang belum bisa melupakan masa lalunya. Aku benar kan?
Red Velvet itu tiba hingga membuat ia menjeda ceritanya. “Minum dulu Qis.” Aku tersenyum lalu meminum minuman yang rasanya tidak bisa aku deskripsikan tapi kalau dibilang manis ya manis, hanya saja ada rasa yang berbeda yang sulit untuk menjelaskannya. Sama seperti rasa yang aku rasakan sekarang ini.
“Daritadi aku yang ngomong. Mau ngomng sesuatu gak?” Tanyanya lembut tidak lupa dengan senyumnya yang terus mengembang.
Aku mencoba menarik nafas kemudian berkata dalam hati bahwa mungkin memang harus selesai.
“Aku cuman mau nanya sama kamu. Kamu masih belum selesai sama masa lalu kamu yaa kak?” Tanyaku to the point. Warna wajahnya berubah saat itu juga
“Aku nanya gini karena entah kenapa setiap lihat mata kamu aku gak menemukan diriku disana. Aku malah menemukan orang lain yang kayaknya memang harusnya dia masih sama kamu kan, kak? Dan orang itu yaa masa lalu kamu. Dari kamu yang selalu ngajak aku ke tempat yang pernah kamu datangi dulu sama mantanmu, dari kamu yang selalu pesanin aku minuman Red Velvet yang ternyata adalah minuman favorit perempuan itu dan dari kamu yang gak pernah mau boncengin aku naik motor kamu karena gak mau hilangin bekas duduk perempuan itu dengan alasan gak enak dilihat teman-teman kamu boncengin aku karena aku jauh dibawah umur kamu. Dari kamu pertanyaanku itu hadir malam ini kak.” Bohong kalau mataku tidak berkaca-kaca mengatakan semua itu. Rasa sesak itu datang menabrak dadaku, sakit sekali rasanya menyebutkan semua hal yang menyakitiku sejak lama, sejak bersama dengannya.
“Terus mau kamu gimana, Bilqis?” Tanyanya. Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan itu. Bukan respon seperti itu yang ingin aku dengar.
“Mari sudahi semuanya kak. Terimakasih sudah membuatku merasa dicintai meski semuanya itu pura-pura. Sebenarnya aku gak mau mengakhiri semua ini dengan alasan bahwa kamu pasti bakalan ngasih cinta yang lebih besar dari aku tapi ternyata aku salah, alasan itu sampai sekarang tidak pernah terealisasikan. Dan aku tidak pernah merasa dicintai sebesar yang aku inigi dari kamu, kak.”
Hening. Tidak ada balasas apapun darinya. Disituasi ini benar bnar membuatku berfikir bahwa dia memang tidak ingin menginginkan ku. Lantas untuk apa harus berjalan jauh lagi?
“Walau ternyata ujung cerita kita ini ga bisa bareng, aku seneng bisa ketemu kamu, kak. Makasih udah beri kebahagiaan dan kenangan disini. Makasih udah ngenalin aku sama hal hal dan tempat baru. Makasih udah mau tuker cerita sama aku. Bohong kak kalau aku ga sedih ngeliat keadaan kita sekarang, tapi aku harus ngerelain semuanya, aku harap kita nemuin kebahagiaan kita masing-masing. Maaf kalau aku belum cukup baik untuk kamu, mungkin memang aku tidak baik untukmu karena seberusaha apapun aku untuk menjadi yang terbaik untukmu ternyata semesta menolak ku untuk bersama denganmu, Kak.” Itulah kata-kata terakhir yang mampu Bilqis ucapkan malam itu.
Apalagi yang lebih menyakitkan dari mencintai seseorang yang ternyata tidak menginginkan kita dan lebih parahnya dia masih berharap agar bisa kembali bersama masa lalunya dengan mengajakku menemaninya sampai ia kembali dengan perempuan pemilik hatinya sampai detik ini.
Hal bodoh yang masih aku lakukan adalah menunggunya untuk merespon semua ucapanku. Jelas sudah, ucapanku saja tidak ia balas apalagi perasaanku. Dengan dada yang berkecamuk aku memilih untuk beranjak dari sana, meninggalkan dia yang masih tertunduk dan diam.
Begini rasanya pergi meski tidak ingin dan berharap agar ia menahanku untuk tetap bersamanya namun justru itu tidak ada. Berakhir. Semuanya berakhir malam itu juga. Tidak akan ada lagi panggilan manis dari laki-laki itu. Tidak adak ada lagi Ara yang akan terus menerus menyuruhku untuk mengakhiri hubungan yang hanya cinta sepihak.
Sesak sekali rasanya, ternyata semenyakitkan ini menjadi seseorang yang tidak di inginkan, ternyata setidak menyenangkan ini menemani seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Begini rasanya kalah, kalah dari masa lalunya.
Tugas yang dikerjakan sudah cukup baik dan bisa dikembangkan lagi. Tetap semangat menulis!
BalasHapus