CERPEN
Di Ujung Senja
By: Kholida Junia R.
Mentari terbangun mengintip dibalik celah awan yang keabuan. Jean mulai meregangkan tubuhnya menuju balkon kamarnya. Dengan uapan besar ia mengamati rumah samping yang tampak tak seperti biasanya. Truck dengan beberapa orang yang sibuk memindahkan kubus padat berisi sesuatu kedalam rumah kosong disebelah. Terlihat pula wanita lansia ditemani gadis manis berjepit mentari dirambut gelombangnya.
Gadis itu menoleh kearah Jean yang sedang mengamatinya. Senyum manis tersuguh dari bibir mungilnya. Deg! Sejenak, dunianya seakan runtuh. Jean terpanah, sebelum akhirnya ia membalas ramah senyuman tersebut. Terlamun beberapa saat menikmati manisnya gula hidup yang terkunci oleh dua manik hitamnya, sebelum Jean terhenyak karena teriakan Sang Bunda yang memanggil.
“Kenapa, Bun?” tanya Jean.
“Ini sup ayam jahe, tolong kamu kasih ke tetangga baru disebelah” pinta Bunda Jean.
“Yahaha, untung aku bangun pagi Bun. Gak jadi kepatok ayam deh rezekinya, kasian ayamnya haha” jawaban abstrak dari Jean.
Sang Bunda hanya menggelengkan kepala melihat keunikan putra sulungnya yang ngacir pergi menuju rumah tetangga sebelah.
Entah keberuntungan apa yang menimpanya, Jean percaya ini terjadi karena skill baru yang ia miliki hari ini, yaitu bangun pagi. Tentu saja dengan ramah Jean disambut oleh pemilik rumah tersebut. Tanpa segan Jean menyetujui ajakan untuk mampir sebentar.
“Aduh ini nak ganteng repot aja, bilangin makasih ya sama bundanya. Oh iya, namanya siapa?” ucap wanita separuh muda itu.
“Jean, Te” jawab Jean.
“Wah namanya hampir mirip sama anak tante iniloh, Jyana namanya. Kalau gitu, kalian kenalan dulu ya. Tante mau lanjutin beres-beresnya” ujarnya dengan senyum teramah yang pernah Jean lihat.
Wanita itu pergi. Jean memiringkan tubuhnya menghadap gadis manis yang telah mencuri perhatiannya yang berada dekat dihadapannya.
“Jadi, nama kamu Jyana?” tanya Jean mengawali perbincangan.
Gadis itu hanya mengangguk dengan senyum manisnya yang masih tertahan.
“Udah tau namaku, kan? Aku Jean Bumantara, cowok paling rajin bangun pagi dikomplek ini” bual Jean dengan bangganya.
Padahal, baru hari ini Ia berhasil bangun pagi. Lagi-lagi, Jyana hanya tersenyum menanggapinya.
“Kamu suka apa?” tanya Jean basa-basi.
Bukannya menjawab, Jyana mengeluarkan stickernote yang digenggamnya. Ia tuliskan sesuatu.
“Senja?” tanya Jean terheran.
Jyana mengangguk dengan antusias.
“Apa bagusnya senja?” tanya Jean memastikan sesuatu.
Jyana kembali menuliskan jawabannya dalam kertas kecil tersebut.
“Warnanya cantik” isi kertas tersebut.
Terjawab sudah. Jean terdiam menatap Jyana. Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Mengetahui Jyana yang ternyata seorang Tunawicara, nyatanya perhatian Jean tak berkurang sedikitpun. Jean menyembunyikan simpati dibalik senyum penuhnya seakan berkata “It's okay, I'll completed your life. Keep loving yourself”. Antara lisan dan sebuah stickernote, mereka melanjutkan obrolan panjang yang menyenangkan tersebut.
°°°°°
Mentari mulai menggelincirkan terangnya. Dibalik gorden yang tersingkap, diam-diam seseorang mengamati Jean yang sedang bermain bola dilapangan belakang rumah. Sudah setengah tahun Ia berteman dengan Jean. Setiap hari, setiap sore, setiap mendung, setiap hujan, setiap cerah, dan setiap senja yang telah terlewati. Hal tersebut menjadi rutinitasnya.
Hingga, sore ini. Hujan berpayung senja tiba-tiba saja turun dengan tak tau dirinya, menyakiti hati mungil insan Tuhan yang hanya punya sedikit kebahagiaan ini. Awalnya, semburat senja masih anggun ia pandangi, semuanya baik-baik saja. Hingga sesuatu yang selama ini tak diketahui akhirnya terketahui. Gadis sempurna sedang membawa sebotol minuman untuk Jean. Jean merangkulnya dengan jaket diatas kepala yang melindungi mereka dari hujan seakan tak membiarkan satu tetes pun hujan menyentuh gadis tersebut. Ia menutup rapat-rapat gorden kamarnya. Berjanji untuk tak membukanya lagi. Untuk pertama kalinya, Ia membenci senja yang berbohong dan hujan yang datang tanpa tau diri, sama seperti air matanya yang berjatuhan saat ini.
°°°°°
Mentari sudah meninggi. Jean menuruni tangga dekat dapur dengan lebar menguap dan masih mengucek matanya.
Pfft! Jyana menahan tawa. Sontak saja Jean terkejut hingga hampir saja salah melangkahi anak tangga. Malu bukan kepalang. Bayangkan saja, dengan baju tidur bermotif Doraemon, rambut acak-acakan, dan yang paling penting, ini jam 11 siang!. Teringat dengan narsisnya tempo hari Ia mengatakan gelar ala-alanya sebagai cowok paling bangun pagi seantero komplek. Demi apapun, bisakah tuhan menghentikan waktu saat ini? Atau, membiarkannya bernasip seperti pencuri yang tertimpa tiang yang menggantung ditangga seperti di salah satu adegan film Home Alone?. Setidaknya, tak akan semalu ini kan.
“Kamu?” ujar Jean pada Jyana yang entah kenapa memasang wajah merengut tanpa senyum manis itu. Sejujurnya, Ia sedikit merindukannya. Hanya sedikit!.
“Mama mau ajarin Jyana bikin sup ayam jahe, suka katanya” saut Bunda Jean.
Jean mengangguk dan berlari menuju kamar mandi sangking malunya.
Seusai acara memasak tersebut, Jean menahan Jyana yang hendak pulang.
“Kamu sakit?” tanya Jean.
Jyana menggeleng.
“Terus, kenapa seminggu ini gak nontonin aku main bola? Gak semangat tau!” kesal Jean.
Jyana sedikit terkejut, sedikit tersipu juga. Masa bodoh apa kata dunia bilang! Emang cuma makhluk aneh dihadapannya ini yang bisa kesal?!. Jyana mengeluarkan stickernote dan menulis sesuatu, lalu membantingnya ke meja.
“Ngapain nontonin orang pacaran!” tulis Jyana.
“Pacar?” Jean terheran.
Jean terdiam sejenak. Sesaat kemudian senyum tak jelas berubah menjadi tawa renyah yang entah karena apa. Ya Tuhan, sungguh ingin rasanya Ia berjoget-joget diatas genteng sekarang juga.
“Itu adikku, dia dirawat dirumah sakit” sejenak keduanya saling memandang.
“Besok ikut ya, temenin main lagi” lanjut Jean tak dapat lagi menahan senyum.
°°°°°
Senja merona dengan sempurna. Angin berhembus bersahabat menerpa dedaunan jatuh di atas rumput setengah gelap dengan suara bising bola yang sedang berlarian dikejar. Dua pasang kaki yang menggantung dibawah kursi taman tampak menari senada. Dua rasa yang sedang bertumbuh bersama, melumpuhkan segala kekurangannya.
The End.
Komentar
Posting Komentar